Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Selesai (3420-3422)

Terik mentari menyambut satu hari di bulan april. Saat itu, aku sudah mulai melangkah jauh dari bayanganmu saat terakhir kita bertemu. Kuhirup udara segar pagi itu, sejuk, tenang. Kucoba melangkah lagi, lebih jauh darimu, lebih dan lebih. Bahkan tentangmu pun sudah hamoit tidak ada lagi diingatanku.  Di sore hari yang masih cerah, di hari yang sama, aku duduk, menatap langit sambil menghisap sebatang rokok di sebuah coffee shop. Perlahan kuturunkan pandanganku ke arah jalan, dan aku melihatmu melintas di jalan itu. Ya, kau.  Kau tau? Jantungku mendadak berdetak lebih kencang dari biasanya, tak terkendali. Waktu berjalan seakan lebih lambat. Mengapa? Mengapa harus kulihat lagi wajahmu? Mengapa mata kita saling bertatapan? Tidaak, aku tidak bisa, aku tidak mau lagi. Kau cukup meninggalkan luka yang besar dan kau kembali merobek luka itu lebih besar lagi. Ya, aku tahu, ini bukan kemauanmu, dan bukan kemauanku, entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita walau hanya sedetik saja.  Pikiranku

Maret

Maret adalah bulan pertemuan kita. Kamu masih ingat? Pertemuan ini sangat lucu. Entah, disengaja atau tidak, namun pertemuan kita seakan sudah diatur oleh Tuhan. Aku sangat tertarik dengan skenario yang Tuhan berikan atas pertemuan kita. Semua masih ada di kepala, aromamu, lembut bibirmu, dan genggaman tanganmu.  sudah ratusan malam kita lewati berdua. Kita seakan tak ingin saling melepas pelukan kita. Kita saling menatap, saling melempar pujian, dan tak jarang kita saling tersenyum, seolah bersyukur kita saling memiliki. Maret, bulan dimana aku meyakinkan diriku, bahwa aku adalah milikmu. Kaupun begitu, meyakinkan dirimu bahwa kau adalah milikku. Kita adalah syukur yang aku dan kau aminkan. Janji bersamamu pun sudah kita ikat, seakan tak pernah lekang. Tak pernah ada aku dan kau, yang ada hanya kita. Namun, maret pula yang memisahkan. Entah badai apa yang datang. Aku pikir, semua akan baik-baik saja. Aku pikir, kita tidak akan terpisahkan oleh apapun. Kau tau kan, indahnya yang sudah

11/3/22 Satu Hari

Setelah aku berbicara tentang senja, malam dan pagi, aku sadar ternyata mereka semua hanya sementara. Aku hanya menikmati mereka disaat waktunya datang, dan sesaat aku kehilangan. Sama halnya dengan kehadiran mereka, sementara. Saat ini, tak ada tempatku lagi untuk berlabuh. Senja sudah tak semenenangkan dulu, cahayanya semakin redup meskipun masih banyak orang yang mendambanya, ia lebih memilih pergi tenggelam bersama temaram. Malam sudah tak seindah dulu, bintang bintang enggan menampakkan dirinya, bahkan bulanpun tak lagi menjadi temanku bercerita tentangmu. Begitupun dengan Pagi, yang aku pikir akan menjadi tujuan terakhirku. Ternyata kesejukannya tak lagi seerat dulu, perlahan ia menjelma menjadi terik yang menyengat. Semua perlahan pergi dengan menyisakan pahit.  Kembali aku merasakan perihnya mencintai setelah semua yang kucintai perlahan pergi. Kembali hati ini dipaksa mati dan tak mampu mengundang siapapun masuk ke dalamnya. Pagi yang terakhir, yang membekas, dan aku harus sel